Monday, 10 November 2014

Pengambilan Hukum dalam Islam


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpdlPZR7amDaej859RO3X-mqYYI9xFMyGaE-45vc4EDpgkZ0BpHX30ydPw4otXCQa6v_exQ_QhzVPS580_aKn86j-y_2AYT_Y4bpM6PqpeNN2AUqpXzZO3csjUKkASgJtWORyfretMRLI/s1600/Hukum+islam.jpg



Sumber :

Buku Ushul Fiqh

Prof. Muhammad Abu Zahrah
 
Pengambilan Hukum
dari Al-Qur’an dan As-sunnah

Istinbath (pegambilan hukum) dalam syari’at islam harus berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah.
Berarti dalil-dalil syara’ ada 2 macam yaitu :
·         Nash
·         Ghairu nash (bukan nash).

Cara Penggalian Hukum (Thuruq al-Istinbath)
1.      Thuruq ma’nawiyyah (pendekatan makna) merupakan istidlal (penarikan) kesimpulan hukum bukan secara langsung kepada nash secara langsung seperti menggunakn qiyas,istihsan,mashalih mursalah,dzara’I dan lain sebagainya.

2.      Thuruq lafzhiyyah (pendekatan lafzh) merupakan penarikan kesimpulan hukum syar’I kepada nash Al-qur’an dan As-sunnah secara langsung, yaitu kepada lafazh-lafazh al-qur’an dan as-sunnah dalam hubungan kepada makna tertentu.
Pembahasan Lafazh Nash
Nash-nash hukum islam adalah nash-nash yang memakai bahasa arab. Karena itu orang yang akan menggali hukum terkandung didal
amnya harus menguasai bahasa arab.
Kaedah-kaedah para ulama ushul yang digunakan untuk memahami nash-nash dan menggali hukum taklify dari nash tersebut.
1.      Al-madlulat al-lughawiyat yaitu pengertian konotasi kebahasaan
Al-fahmu al-araby yaitu pemahaman yang didasarkan pada cita rasa bahasa arab terhadap nash hukum dalam kaitannya dengan al-qur’an dan as-sunnah.
2.      Pedoman atau metode yang dipakai Nabi SAW dalam menjelaskan hukuk-hukum
al-qur’an  dan himpunan hukum nash yang telah mendapat penjelasan dari sunnah.
Kaedah-kaedah bahasa (lughawy) itu mengacu kepada 4 segi sebagai berikut :
1.      Kepada lafazh-lafazh nash dari segi kejelasan dan kekuaan dalalah-nya terhadap pengertian yang dimaksud.
2.      Dari segi ungkapan dan konotasinya, apakah menggunakan ibarat sharih (ungkapan yang jelas), ataukah menggunakan isyarat yang mengandung makna yang tersirat dan apakah memakai manthuq ataukah mafhum.
3.      Dari segi cakupan lafazh dan sasaran dalalahnya berupa lafazh umum atau khusus, dan lafazh muqoyyad atau mutlaq.
4.      Dari segi bentuk tuntutan (shighat taklif)-nya.

Lafazh Yang Jelas Pengertiannya
Lafazh terbagi 2 macam , yaitu :
1.      Lafazh yang jelas dalalahnya yang tidak perlu penjelasan lagi dan dari lafazh itu sudah dapat ditetapkan taklif.
2.      Lafazh yang tidak mempunyai kejelasan makna secara khusus.

Kedua macam lafazh tersebut dapat ditemukan, baik dalam perundang-undangan hukum positif maupun dalam nash-nash al-qur’an.

Lafazh yang Jelas
Lafazh-lafazh yang jelas ada 4 macam, yang berbeda-beda tingkat “kekuatan kejelasan lafazh-nya” dan sebagai knsekuensi logos yang pertama ini, tingkat “kekuatan dalalahnya” yaitu :
1.      Zhahir yaitu merupakan yang paling rendah tingkatan kekuatan dalalahnya.
2.      Nash yaitu merupakan yang dipandang sedikit lebih tinggi tingkatannaya dibandingkan dengan zhahir.
3.      Mufassar yaitu merupakan yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan nash.
4.      Muhkam yaitu merupakan yang tingkatannya paling tinggi dibandingkan mufassar,nash dan zhahir.
Lafazh yang tidak jelas Pengertiannya
Gahirul Wadhih yaitu merupakan lafazh yang maknanya tidak jelas secara mutlak, atau makna itu tidak jelas pada pengertian yang ditunjuk (madlul) yang masuk dalam lingkup pengertiannya.
Ketidakjelasan suatu lafazh terkadang bukan karena lafazh itu sendiri, akan tetapi segi penerapan lafazh itu pada bagian madlulnya. Bagian ini terbagi menjadi 4 macam , yaitu : al-Khafiy,al-Musykil,al-Majmul dan al-Mutasyabih.
Al-Khafi
Al-Khafi adalah lafazh yang maknanya samar (tidak jelas) pada sebagian pengertian yang ditunjuk (madlul)-nya,karena factor penerapannya terhadap madlulnya itu, bukan karena bentuk ucapan (shighat)-nya.
Al-Musykil
Al-Musykil adalah lafazh yang maknanya samar/kabur karena suatu sebab yang ada pada lafazh itu sendiri.

Adapun perbedaan al-khafi dengan al-musykil
1.      Al-khafi , kesamaran maknanya bukan disebabkan oleh lafazh itu sendiri, tapi oleh penerapan segi cakupan lafazhnya.
2.      Sejak mula apa yang dikehendaki oleh lafazh al-khafi dapat di ketahui.
3.      Al-musykil,  kesamaran/kabur maknanya disebabkan oleh lafazh itu sendiri dan apa yang dikehendaki oleh lafazh tidak dapat difahami kecuali dengan memakai dalil dari luar.

Contoh lafazh al-musykil adalah lafazh musytarak yaitu :
Lafazh yang menunjukan dua arti atau lebih secara bergantian, seperti kata ‘ain. Kata ini menunjukan beberapa makna satu anggota badan yaitu mata (alat melihat), sumber air (mata air),esensi (zat) dan mata-mata intel.

Mujmal
            Mujmal adalah bentuk ungkapan yang dalam maknanya tersimpan banyak ketentuan dan berbagai keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui pernyataan lain yang menjelaskan (mubayyin).
Al-bazdawi dalam kitab ushul fiqhnya mengajukan definisi sebagai berikut :
Mujmal ialah ungkapan yang didalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang dimaksud diantara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Artinya apa yang dimaksud tidak bias diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tapi harus ditafsiri,diteliti dan dimengerti secara mendalam.

Mutasyabih
Ialah lafazh yang samar maknanya dan tidak mungkin dijangkau oleh nalar ulama sekalipun, sementara baik didalam al-qur’an maupun dalam hadist tidak ada penafsiran yang bersifat qoth’I (pasti) ataupun lafazh yang zhanni terhadap lafazh tersebut.
Akal manuasia tidak akan sanggup selain menyerahkan persoalan kepada Allah SWT , dan mengakui kelemahan dan keterbatasan.

Ta’wil
Ta’wil adalah mengeluarkan (memalingkan) lafazh dari maknanya yang zhahir ke makna yang lain yang tidak zhahir tapi ada disimpannya.

3 syarat yang sah dalam penerapan ta’wil :
1.      Lafazh tersebut memang menyimpan makna ta’wil walaupun itu sangat jauh. Artinya , makna itu tidak asing sama sekali dari lafazhnya.
2.      Harus ada factor yang memaksa diterapkannya ta’wil
3.      Ta’wil itu tidak boleh tanpa sanad (sandaran). Sebaliknya ia harus berdasar atas sanad yang bias dipegang, sebagai faktor penyebab diterapkannya ta’wil.
Ta’wil ada 2 macam
1.      Ta’wil terhadap hadist dan ayat-ayat al-qur’an yang bias menimbulkan tasybih (penyerupaan tuhan dengan makhluk).
2.      Ta’wil terhadap nashyang khusus berkenaan dengan hukum taklif. Faktor adanya ta’wil ialah menyesuaikan antara ketentuan-ketentuan hukum dalam ayat-ayat al-qur’an dan hadist yang pada zhahirnya bertentangan.

Dilalah
Para fuqaha mazhab Hanafi membagi cara peninjauan dilalah lafazh mejadi 4 bagian . yaitu :
1.      Dilalah ‘ibarah
2.      Dilalah ‘isyarah
3.      Dilalah Nash
4.      Dilalah Iqtidla’

Jumhur fuqoha menambah dilalah yang kelima yaitu

5.      Mafhum Mukholafah


A.    Dilalah ‘ibarah
Ialah makna yang difahami  dari lafazh, baik lafazh tersebut berupa zhahir  maupun nash, muhkam maupun tidak. Oleh karena itu , setiap pengertian yang difahami dari keadaan lafazh yang jelas.
B.     Isyarah Nash ialah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafazh, sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri.
C.    Dilalah Nash
disebut juga afhum Muwafaqoh disamping disebut dilalah aula.
Dilalah nash aialah yang difahami dari pengertian nash secara eksplisit (ibaratun nash) karena adanya faktor penyebab yang sama.
D.    Dilalah al-Iqtidha’
Yaitu penunjukan dilalah lafazh terhadap sesuatu, di mana pengertian lafazh tersebut tidak logis kecuali dengan adanya suatu tersebut.

Tingkatan Dilalah
            Semua dilalah diatas kecuali dilalah nash adalah termasuk dalam kategori dilalah manthuq, karena dilalah-dilalah tersebut didasarkan pada pengertian lafazh, baik pengertian eksplisit (ibarat) maupu implisit (isyarat) atau didasarkan kepada kebutuhan lafazh tersebut kepada dilalah.

Ditinjau dari segi kuat dan lemahnya menurut mazhab Hanafi, tingkatan dilalah adalah sebagai berikut :
1.      Dilalah al-‘ibarah
2.      Dilalah al-Isyarah
3.      Dilalah an-nash
4.      Dilalah al-Iqtidha’


E.     Dilalah al-Mafhum
Menurut para ulama ushul fiqh, bahwa sebagian besar ialah yang diuraikan  diatas didasarkan pada lafazh (teks), kecuali dilalah an-nash.
Para ulama yang tidak memasukan dilalah an-nash ke dalam dilalah manthuq, membagi dilalah al-mafhum menjadi 2 bagian :
1.      Dilalah mafhum al-muwafaqah
2.      Dilalah mafhum al-mukhalafah

1.      Dilalah Mafhum al-Mukhalafah
Merupakan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan (qayad) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya.

Pembagian mafhum mukholafah
a.       Mafhum al-laqab : menentukan suatu hukum yang ditentukan (ditakhsis) dengan jenis atau macamnya sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang terdapat pada nash dan negatif (manfi) bagi masalah yang tidak di sebutkan.
b.      Mafhum al-sifat : menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi dengan sifat yang terdapat dalam lafazh dan jika sifat tersebut telah hilang maka jadilah kebaikan hukum tersebut.
c.       Mahfum al-syarat : menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung kepada syarat atau bersamaan dengan syarat tersebut tidak terwujud.
d.      Mafhum al-ghayah : Menetapkan hukum yang berada diluar tujuan nash (ghayah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (ghayah).
e.       Mafhum al-‘adad : penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan , ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi.

Semoga Bermanfaat
By : muhamad iqbal

0 comments:

Post a Comment