
Sumber :
Buku Ushul Fiqh
Prof. Muhammad Abu Zahrah
Pengambilan
Hukum
dari Al-Qur’an dan As-sunnah
Istinbath
(pegambilan hukum) dalam syari’at islam harus berdasarkan Al-qur’an dan
As-sunnah.
Berarti
dalil-dalil syara’ ada 2 macam yaitu :
·
Nash
·
Ghairu nash (bukan nash).
Cara Penggalian Hukum (Thuruq al-Istinbath)
1.
Thuruq
ma’nawiyyah (pendekatan makna) merupakan istidlal
(penarikan) kesimpulan hukum bukan
secara langsung kepada nash secara langsung seperti menggunakn
qiyas,istihsan,mashalih mursalah,dzara’I dan lain sebagainya.
2.
Thuruq
lafzhiyyah (pendekatan lafzh) merupakan penarikan
kesimpulan hukum syar’I kepada nash Al-qur’an dan As-sunnah secara langsung, yaitu kepada
lafazh-lafazh al-qur’an dan as-sunnah dalam hubungan kepada makna tertentu.
Pembahasan
Lafazh Nash
Nash-nash hukum islam
adalah nash-nash yang memakai bahasa arab. Karena itu orang yang akan menggali
hukum terkandung didal
amnya harus menguasai
bahasa arab.
Kaedah-kaedah para
ulama ushul yang digunakan untuk memahami nash-nash dan menggali hukum taklify
dari nash tersebut.
1. Al-madlulat al-lughawiyat yaitu pengertian
konotasi kebahasaan
Al-fahmu al-araby yaitu pemahaman
yang didasarkan pada cita rasa bahasa arab terhadap nash hukum dalam kaitannya
dengan al-qur’an dan as-sunnah.
2.
Pedoman atau metode yang dipakai Nabi
SAW dalam menjelaskan hukuk-hukum
al-qur’an dan himpunan hukum nash yang telah mendapat
penjelasan dari sunnah.
Kaedah-kaedah bahasa
(lughawy) itu mengacu kepada 4 segi sebagai berikut :
1.
Kepada lafazh-lafazh nash dari segi
kejelasan dan kekuaan dalalah-nya terhadap pengertian yang dimaksud.
2.
Dari segi ungkapan dan konotasinya,
apakah menggunakan ibarat sharih (ungkapan
yang jelas), ataukah menggunakan isyarat yang mengandung makna yang tersirat
dan apakah memakai manthuq ataukah mafhum.
3.
Dari segi cakupan lafazh dan sasaran
dalalahnya berupa lafazh umum atau khusus, dan lafazh muqoyyad atau mutlaq.
4.
Dari segi bentuk tuntutan (shighat
taklif)-nya.
Lafazh Yang Jelas Pengertiannya
Lafazh terbagi 2 macam
, yaitu :
1.
Lafazh yang jelas dalalahnya yang tidak
perlu penjelasan lagi dan dari lafazh itu sudah dapat ditetapkan taklif.
2.
Lafazh yang tidak mempunyai kejelasan
makna secara khusus.
Kedua macam lafazh tersebut dapat ditemukan, baik dalam perundang-undangan hukum positif maupun dalam nash-nash al-qur’an.
Lafazh yang Jelas
Lafazh-lafazh yang
jelas ada 4 macam, yang berbeda-beda tingkat “kekuatan kejelasan lafazh-nya”
dan sebagai knsekuensi logos yang pertama ini, tingkat “kekuatan dalalahnya”
yaitu :
1.
Zhahir
yaitu merupakan yang paling rendah tingkatan kekuatan dalalahnya.
2.
Nash
yaitu
merupakan yang dipandang sedikit lebih tinggi tingkatannaya dibandingkan dengan
zhahir.
3.
Mufassar
yaitu
merupakan yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan nash.
4.
Muhkam
yaitu
merupakan yang tingkatannya paling tinggi dibandingkan mufassar,nash dan
zhahir.
Lafazh
yang tidak jelas Pengertiannya
Gahirul
Wadhih yaitu merupakan lafazh yang maknanya tidak jelas
secara mutlak, atau makna itu tidak jelas pada pengertian yang ditunjuk
(madlul) yang masuk dalam lingkup pengertiannya.
Ketidakjelasan suatu
lafazh terkadang bukan karena lafazh itu sendiri, akan tetapi segi penerapan
lafazh itu pada bagian madlulnya. Bagian
ini terbagi menjadi 4 macam , yaitu : al-Khafiy,al-Musykil,al-Majmul dan
al-Mutasyabih.
Al-Khafi
Al-Khafi adalah lafazh
yang maknanya samar (tidak jelas) pada sebagian pengertian yang ditunjuk
(madlul)-nya,karena factor penerapannya terhadap madlulnya itu, bukan karena
bentuk ucapan (shighat)-nya.
Al-Musykil
Al-Musykil adalah
lafazh yang maknanya samar/kabur karena suatu sebab yang ada pada lafazh itu
sendiri.
Adapun perbedaan
al-khafi dengan al-musykil
1.
Al-khafi , kesamaran maknanya bukan
disebabkan oleh lafazh itu sendiri, tapi oleh penerapan segi cakupan lafazhnya.
2.
Sejak mula apa yang dikehendaki oleh
lafazh al-khafi dapat di ketahui.
3.
Al-musykil, kesamaran/kabur maknanya disebabkan oleh
lafazh itu sendiri dan apa yang dikehendaki oleh lafazh tidak dapat difahami
kecuali dengan memakai dalil dari luar.
Contoh
lafazh al-musykil adalah lafazh musytarak yaitu :
Lafazh
yang menunjukan dua arti atau lebih secara bergantian, seperti kata ‘ain. Kata
ini menunjukan beberapa makna satu anggota badan yaitu mata (alat melihat),
sumber air (mata air),esensi (zat) dan mata-mata intel.
Mujmal
Mujmal adalah
bentuk ungkapan yang dalam maknanya tersimpan banyak ketentuan dan berbagai
keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui pernyataan
lain yang menjelaskan (mubayyin).
Al-bazdawi dalam
kitab ushul fiqhnya mengajukan definisi sebagai berikut :
Mujmal
ialah
ungkapan yang didalamnya terkandung banyak makna, namun makna mana yang
dimaksud diantara makna-makna tersebut tidak jelas (kabur). Artinya apa yang
dimaksud tidak bias diketahui begitu saja dari ungkapan itu sendiri, tapi harus
ditafsiri,diteliti dan dimengerti secara mendalam.
Mutasyabih
Ialah lafazh
yang samar maknanya dan tidak mungkin dijangkau oleh nalar ulama sekalipun,
sementara baik didalam al-qur’an maupun dalam hadist tidak ada penafsiran yang
bersifat qoth’I (pasti) ataupun lafazh yang zhanni terhadap lafazh tersebut.
Akal manuasia
tidak akan sanggup selain menyerahkan persoalan kepada Allah SWT , dan mengakui
kelemahan dan keterbatasan.
Ta’wil
Ta’wil adalah
mengeluarkan (memalingkan) lafazh dari maknanya yang zhahir ke makna yang lain
yang tidak zhahir tapi ada disimpannya.
3 syarat yang
sah dalam penerapan ta’wil :
1.
Lafazh tersebut memang menyimpan makna
ta’wil walaupun itu sangat jauh. Artinya , makna itu tidak asing sama sekali
dari lafazhnya.
2.
Harus ada factor yang memaksa
diterapkannya ta’wil
3.
Ta’wil itu tidak boleh tanpa sanad
(sandaran). Sebaliknya ia harus berdasar atas sanad yang bias dipegang, sebagai
faktor penyebab diterapkannya ta’wil.
Ta’wil ada 2 macam
1.
Ta’wil terhadap hadist dan ayat-ayat
al-qur’an yang bias menimbulkan tasybih (penyerupaan tuhan dengan makhluk).
2.
Ta’wil terhadap nashyang khusus
berkenaan dengan hukum taklif. Faktor adanya ta’wil ialah menyesuaikan antara
ketentuan-ketentuan hukum dalam ayat-ayat al-qur’an dan hadist yang pada
zhahirnya bertentangan.
Dilalah
Para
fuqaha mazhab Hanafi membagi cara peninjauan dilalah lafazh mejadi 4 bagian .
yaitu :
1. Dilalah ‘ibarah
2. Dilalah ‘isyarah
3. Dilalah Nash
4. Dilalah Iqtidla’
Jumhur fuqoha menambah dilalah yang
kelima yaitu
5. Mafhum Mukholafah
A.
Dilalah
‘ibarah
Ialah makna yang difahami dari lafazh, baik lafazh tersebut berupa
zhahir maupun nash, muhkam maupun tidak.
Oleh karena itu , setiap pengertian yang difahami dari keadaan lafazh yang
jelas.
B. Isyarah Nash
ialah suatu pengertian yang ditangkap dari suatu lafazh, sebagai kesimpulan
dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu
sendiri.
C.
Dilalah
Nash
disebut juga afhum
Muwafaqoh disamping disebut dilalah aula.
Dilalah nash aialah yang difahami
dari pengertian nash secara eksplisit (ibaratun nash) karena adanya faktor
penyebab yang sama.
D.
Dilalah
al-Iqtidha’
Yaitu penunjukan dilalah lafazh terhadap sesuatu, di
mana pengertian lafazh tersebut tidak logis kecuali dengan adanya suatu
tersebut.
Tingkatan
Dilalah
Semua dilalah
diatas kecuali dilalah nash adalah termasuk dalam kategori dilalah manthuq,
karena dilalah-dilalah tersebut didasarkan pada pengertian lafazh, baik
pengertian eksplisit (ibarat) maupu implisit (isyarat) atau didasarkan kepada
kebutuhan lafazh tersebut kepada dilalah.
Ditinjau dari segi kuat
dan lemahnya menurut mazhab Hanafi, tingkatan dilalah adalah sebagai berikut :
1.
Dilalah al-‘ibarah
2.
Dilalah al-Isyarah
3.
Dilalah an-nash
4.
Dilalah al-Iqtidha’
E.
Dilalah
al-Mafhum
Menurut
para ulama ushul fiqh, bahwa sebagian besar ialah yang diuraikan diatas didasarkan pada lafazh (teks), kecuali
dilalah an-nash.
Para ulama yang tidak
memasukan dilalah an-nash ke dalam dilalah manthuq, membagi dilalah al-mafhum
menjadi 2 bagian :
1.
Dilalah mafhum al-muwafaqah
2.
Dilalah mafhum al-mukhalafah
1.
Dilalah
Mafhum al-Mukhalafah
Merupakan
kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak adanya suatu batasan
(qayad) yang membatasi berlakunya hukum menurut nashnya.
Pembagian
mafhum mukholafah
a. Mafhum al-laqab
: menentukan suatu hukum yang ditentukan (ditakhsis) dengan jenis atau macamnya
sehingga hukum tersebut positif dalam masalah yang terdapat pada nash dan
negatif (manfi) bagi masalah yang tidak di sebutkan.
b. Mafhum al-sifat
: menetapkan hukum dalam bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi dengan sifat
yang terdapat dalam lafazh dan jika sifat tersebut telah hilang maka jadilah
kebaikan hukum tersebut.
c. Mahfum al-syarat
: menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung kepada syarat atau bersamaan
dengan syarat tersebut tidak terwujud.
d. Mafhum al-ghayah
: Menetapkan hukum yang berada diluar tujuan nash (ghayah), bila hukum tersebut
dibatasi dengan tujuan (ghayah).
e. Mafhum al-‘adad
: penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan , ketika
bilangan tersebut tidak terpenuhi.
Semoga Bermanfaat
By : muhamad iqbal






0 comments:
Post a Comment